Sebuah catatan singkat,Meretas kembali komparatif dan kompetitif seni paduan suara.

  1. 1. Dewasa ini, perkembangan seni menampakkan citra yang berbeda dan progresif. Progresifitas itu tampak dari munculnya generasi “hibrida” dalam karya seni. Hal itu, dilatarbelakangi oleh berkembangnya gerakan Garda Depan (Avant garde) dalam segala proses berkesenian. Cirinya yang progresif dan mereduksi segala batas-batas formal berkesenian, membawa seni menjadi melintas batas tatanan. Seni apapun bentuknya, menjadi meluas, kolaboratif, heteroistik. Bentuk perlawanan terhadap tatanan dan kolaboratif ini telah memunculkan berbagai kecenderungan seni yang kontemporer hingga sulit untuk digolong-golongkan kedalam formalisasi model.
  2. Begitupun yang terjadi dengan seni paduan suara. Paduan suara berubah dari seni “memadu suara” menjadi seni “memainkan suara”, tentu saja ini bukan berlaku untuk seni paduan suara formal. Hal itu tentu saja dipicu oleh perkembangan seni musik dan seni bernyanyi. Nyanyian, senandung atau apapapun bentuknya, berkembang begitu ragam, hingga seringkali membuahkan sub-culture seperti pop, rock, hip-hop dan lain sebagainya. Begitupun dengan paduan suara yang sudah mempunyai kestabilan dalam segi sub-culture, seperti yang dipengaruhi oleh perkembangan sejarah gereja dan perkembangan musik liturgi. Namun, seni paduan suara menampakkan kemenarikkannya ketika “tidak setia” dan mulai melanggar formalitasnya dengan konsep “hibrid”. Kenyataan itu sering terlihat, ketika paduan suara sering digunakan untuk alat “sampingan” grounded bagi para musisi atau penyanyi tunggal. Amat sayang, jika paduan suara hanya diletakkan sebagai grounded semata saja. Paduan suara harus menampakkan konsepnya sebagai suara yang “memadu”, hingga suara yang “bermain” pada tatanan utuh accord atau ensemble.
  3. Konsep permainan ensemble melalui suara manusia inilah yang sekarang ini menjadi kompetitif. Kompetitifnya tidak terletak pada konsep jenis paduan suara antara paduan suara pria atau wanita saja (jenis kelamin), atau tataran suara, sopran, alto, tenor dan bass melainkan bagaimana memainkan suara. Sebuah ensemble suara yang dibayangkan sebelumnya selalu terpaku pada formalisasinya, namun sekarang ini, ensemble berubah menjadi senyawa irama. Hal itu terlihat nyata dalam tatanan atau wacana konsep etno, sehingga ensemble suara yang diwacanakan ingin dikembalikan kembali kepada prinsip primitifnya. Hal itu mendasar pada konsep suara, pada senandung orang Indian, africa, semitisme, samanisme, jawanisme (hinduisme) dll.
  4. Konsep “hibrida” yang saat ini muncul, lebih kepada konsep interculture, tetapi juga seringkali pada konsep intermediasi. Maka ketika hal itu dikaitkan dengan wacana paduan suara, bentuk-bentuk paduan suara menjadi sesuatu yang lintas perfoma. Interculture itu bisa terjadi pada musik pengiring paduan suara atau bagaimana paduan suara mencoba “memainkan” suaranya. Misalnya, yang terlihat pada apa yang diperformakan group ERA dengan memadukan irama populer, rock serta gregorian dengan tecno.
  5. Nuansa perkembangan budaya New Age, sangat berpengaruh dan kaya dalam segi “hibridasi” ini. Ambil contoh, bagaimana seni-seni “hibrid” ini mewarnai kancah seni populer dewasa ini, seperti; ERA, Enya, Sarah Brighman, atau pada lagu-lagu Josh Groban yang berkolaborasi dengan Black Mumbazo. Maka New Age pun menghantar berbagai musik-musik yang kaya akan dimensi spiritual dengan musik yang didominasi bernada oktaf, namun juga kecenderungan-kecenderungan absurditas pada pilihan nada-nada musiknya, seperti apa yang dipopulerkan dengan generasi Brith Pop. Tentu saja, secara analisis budaya, hal ini dipengaruhi oleh struktur naratif zaman dewasa ini yang menuturkan berbagai pergulatan penderitaan hidup, kecemasan dan kerinduan akan yang sakral.
  6. Seni paduan suara akan mudah “diasingkan” ketika hanya bercokol pada menara gading perfoma. Karena dirinya hanya diinternalisasi untuk kepentingan religi atau prestasi-prestasi yang prestisius yang kurang kompetitif. Dari segi Komparatifnya, pasti sudah didapat sebagai salah satu bagian kerasulan menyanyi, namun secara kompetitif berkesenian amatlah sangat terbatas. Maka perlulah paduan suara membuka peluang seluas-luasnya pada konsep “hibridasi” itu, tentu saja bukan untuk mengkaburkannya, tetapi untuk merevitalisasinya.(purwono nugroho adhi, penikmat kerja seni)

Sumber: http://purwonomedia.wordpress.com/2008/03/15/kajian-seni-paduan-suara/#comment-23